Banyak
sudah semboyan dan petuah
tentang toleransi dan menghargai-dalam arti yang sesuai dengan norma
keislaman-
yang kita dengar maupun yang kita baca, namun sayangnya, kecenderungan
manusiawi membuat semboyan dan petuah itu disalah artikan-menurut saya-.
Pola pikir
yang terjadi, ketika seseorang selesai dari mendengar atau membaca
tentang
toleransi, akan terbesit sebuah pemikiran: “manusia yang berbeda
pendapat dengan saya, harus bertoleransi terhadap keputusan yang saya
ambil”. Padahal,
yang diharapkan: “kita dan mereka yang berbeda pendapat, harus saling
toleransi”
Perbedaan. Sampai sekarang pun,
dizaman ini, dari kalangan Ulama hingga masyarakat awam masih terjadi
perselisihan pendapat, tentang furu’; batasannya, pembagiannya dan yang
bisa serta yang tidak bisa ditolerir. Sayangnya, salah satu dari manusia yang
berbeda pendapat selalu berlindung dibalik rahmat. Jika benar segala perbedaan
adalah rahmat maka mendakwahkan suatu keputusan -pendapat- yang kita yakini
benar adanya, tidak lagi berguna, begitu juga dengan mempelajari apa yang
berbeda.
Contoh:
Rahmat dalam perbedaan isbal. Jono
isbal dan Joni tidak isbal. Mereka bersahabat namun, mereka saling diam dengan
perbedaanya, benarkah ini sikap toleransi dalam furu’?. Sebuah kesia-siaan yang
terjadi bagi Joni, ketika dia meyakini bahwa memakai celana diatas mata kaki itu
menjauhkanya dari api neraka, sedangkan dia tidak bisa menjauhkan sahabatnya dari
api neraka, disebabkan oleh toleransi -keadaan
joni-. berbeda lagi dengan jono, dia melihat temannya terlalu extreme dan itu
membuat dirinya secara alamiyah merubah sikap terhadap joni, untuk bertoleransi se-toleransi mungkin, tidak isbal
ketika dengan joni dan isbal selain dengan joni, -jono menganggapnya sunnah-. Benarkah
tidak ada kebenaran yang mutlak untuk dilakukan antara isbal dan tidak isbal?,
keduanya benar dan keduanya boleh dikerjakan, tinggal pilih yang mana dan
bersikap toleransi terhadap perbedaan furu’, tidak perlu diperdebatkan,
hanya akan menimbulkan perpecahan, benar begitu?.
Perbedaan hukum. Jono berkata “tidak
isbal itu sunnah”, lalu dengan tegas joni menjawab “tidak isbal itu wajb”. Dilain
percakapan Jono berkata “Isbal itu tidak mengapa” lalu Joni menimpali “Isbal itu haram”.
Sikap. Sebenarnya perbedaan
selalu menimbulkan perlakuan -sikap- baru, Ini sangat wajar. Ketidakwajaran
dalam bersikap akan mulai muncul ketika salah satu diantara kedua belah pihak
yang berbeda, tidak konsisten dengan pendapatnya. Merasa menang dan benar, bagi
mereka yang tetap dalam pendapatnya, dan merasa bersalah dan menyesal bagi
mereka yang memiliki “qoul jaded”. Mengapa tidak wajar. Sedikit membenarkan
kenyataan dilapangan, terkadang, bagi
mereka yang menganggap dirinya moderat sikap yang timbul sebagai berikut; perkataan “akhirnya
paham juga” secara sirron atau jahron, melayangkan senyum
kemenangan dan sedikit sindiran kepada si pemilik “qoul jaded”–karena ketidak konsistenannya-.
Namun berbeda bagi mereka yang dianggap extreme,
sikap yang muncul terkadang; perkataan “akhirnya pencerahan -hidayah- dari Allah datang” secara sirron atau jahron, tidak
ada senyum ejekan dan sindiran. Nah, ketidak wajaran bersikap itu terjadi bagi
mereka yang merasa moderat, terkadang. Dan Ini hanya pandangan/penilaian subjektif.
Isbal dan tidak adalah contoh
perbedaan, dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang ada dalam islam. Manusia
selalu merasa terintimidasi atau boleh dibilang, keeksisannya terganggu, bila
ada manusia lain yang menyelisihinya dan ini manusiawi dalam hal berinteraksi,
tetapi, apakah tetap dapat dikatakan manusiawi jika dalam hal beragama?. Merasa
paling benar mungkin diperlukan dalam menjalankan keputusan yang diambil, jika
tidak, lantas mengapa menjalankannya? Sikap memaksakan kehalalan atau keharaman
suatu pendapat yang diyakini, agar diterima oleh mereka yang berbeda pendapat.
ini yang tidak boleh. cukup menganjurkan, bagi yang merasa moderat ataupun yang
dianggap extreme.
Nb: isbal dan tidak hanya contoh, fokusnya terhadap perbedaan, keputusan dan sikap, bukan contohnya.