Nilai Ukur Wasati



Antara Mutasyaddid, Mutawassith dan Mutasahhil. Jika diibaratkan; Mutasyaddid berada pada posisi angka 1 dan Mutasahhil berada pada angka 3, maka posisi Wasitiyah pada angka 2. Ini sangat jelas dan benar, karena 2 adalah pertengahan antara 1 dan 3.

Sayangnya, pada setiap posisi di mana muslim berada, mereka akan merasa sebagai yang wasati, disebabkan pemakaian nilai ukur yang berbeda tentang bagaimana dan apa yang disebut wasati. Dan tentu yang menyelisihi nilai ukur mereka akan dicap sebagai non wasati; entah mutasyadid atau mutasahhil.

Mengambil contoh masalah yang sejak zaman para ulama telah diperselisihkan: Peringatan Maulid Nabi;
Ada yang mengharamkan.
Ada yang mensunnahkan.
Ada yang sekedar membolehkan atau mubah.

Bukankah setiap muslim yang berpegang pada setiap pendapat diatas mengatakan sikap meraka adalah sikap wasati, tentunya menurut nilai ukur masing-masing pihak. Pihak pertama(yang mengharamkan) akan mengatakan diri mereka mutawasit karena itu sesuai dengan nilai ukur wasitiyah menurut mereka, begitu pula dengan pihak kedua dan ketiga.

Jika melihat dari luar-secara objektif dan terbuka- maka yang terjadi adalah penglihatan sebagai berikut: Pihak yang mengharamkan dinamakan mutasyaddid, sedang yang mensunnahkan dinamakan mutasahil, maka yang sekedar membolehkan atau mubah dinamakan mutawassith. Dan yang melihat dari luar ini pun memiliki nilai ukur wasitiyahnya sendiri.

Masalahnya, nilai ukur milik siapa yang benar-benar absolut dalam menetapkan ke-wasati-yahan seseorang? Jika tidak ada nilai ukur yang absolut maka jangan salahkan hal ini akan menjadi relatif. Jadi hampir mirip-mirip(namun tidak sepenuhnya sama) dengan ibarat berikut:


وَكُلٌّ يَدَّعِي وَصْلًا لِلَيْلَى وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بذاكا
(masing-masing mengaku punya hubungan cinta dengan Laila Sementara Laila tidak mengakui hubungan itu dengan mereka)

Namun menurut  teman saya,  teori diatas lebih seperti teori Segitiga Sama Sisi karena 1,2,3 dapat bertukar posisi. dan mutawasith menjadi tidak fleksibel.
 

Berbeda dengan teori angka 1-9, dimana jika 1 itu pasti mutasahil dan 9 itu pasti mutasyaddid, maka mutawasit tidak harus angka 5 tapi bisa berada pada salah satu angka dari 2-8. Ini yg membuat mutawasit menjadi lebih fleksibel. Mereka yg menganggap mutawasit itu 7 maka dia akan mengatakan 1-6 itu mutasahil dan 8-9 itu mutasyadidi. Sedangkan yg mengatakan mutawasit itu 4 maka dia akan menganggap 1-3 itu mutasahil dan 5-9 itu mutasyaddid.

Entahlah..... Tapi paling tidak, kita memiliki(mengikuti) nilai ukur, dari pada tidak memilliki, dan setidaknya, nilai ukur itu bukan buatan sendiri. Dan jika terjadi perselisihan janganlah meminta "objektifitas dan pikiran terbuka" hanya kepada lawan yang berbeda nilai ukurnya, tapi mintalah pada diri sendiri juga.
 

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Ceyron Louis

Masih sebagai manusia yang tersesat di tengah, antara salah paham yang tak berujung

0 comments:

Post a Comment