Benarkah Nabi Ibrahim berfilsafat ?


Yunani kuno dikenal memiliki suatu metode dalam memecahkan suatu persoalan. Metode tersebut dianggap sebagai pangkal pokok ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Metode ini didasarkan pada akal; mengingat pengaruh lingkungan pada saat itu yang tidak terkekang oleh doktrin agama manapun, sehingga mendukung mereka menggunakan akal sebebas-bebasnya. Metode tersebut yang kita kenal pada saat ini dengan nama filsafat.

Secara bahasa Filsafat diambil dari 2 kata dalam bahasa Yunani, yaitu Philaen dan Sophia. Philaen berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan atau keluhuran. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Namun beberapa kritikan tertuju terhadap pendapat ini. Pertama, bangsa Yunani sudah menggunakan istilah ini berabad-abad silam sebelum masehi. Kedua, bangsa Arab menggunakan istilah ini untuk mengungkapkan arti kata hikmah ketika banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Persia diterjemahkan ke bahasa Arab. Ketiga, merupakan suatu kemungkinan kata falsafah –dalam bahasa Arab- diadopsi dari kata Philaen dan Sophia. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa filsafat secara bahasa bukan diambil dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Yunani.

Adapun secara istilah mari kita simak definisi Filsafatdari beberapa filsuf dunia:
1. Plato: "Ilmu pengetahuan yang berminat untuk mencapaikebenaran yang asli dan telah dibuktikan secara nyata."
2. Aristoteles: "Kumpulan dari segala pengetahuan yangmeliputi kebenaran, di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,ekonomi, politik dan estetika."
3. Al-Farabi: "Pengetahuan tentang hakikat yang sebenarnya alammaujud (eksistensi).

Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah suatu usaha pencarian kebenaran yang dibangun di atas kaidah pembuktian secara nyata.
Adapun objek dari filsafat adalah Tuhan, alam dan manusia[1]. Dari sudut pandang tuhan, para ahli filsafa tmembagi filsafat menjadi filsafat barat dan filsafat Islam. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah filsafat barat masih mencari tuhan sedangkan 'filsafat Islam', tuhan sudah ditemukan, namun mereka –para filsufmuslim- berusaha memaparkan sifat-sifat tuhan dengan jalan selain metode wahyu.[2]

Beberapa cendekiawan muslim merasa perlu untuk menanamkan tradisi filsafat ke dalam sikap dan cara berfikir kaum muslimin. Berbagai alasan mereka kumpulkan dan kemukakan di hadapan masyarakat. Namun sebagai hasil konkritnya kita bisa melihat dampak buruk filsafat terhadap aqidah. Sejarah membuktikan pada era kekhalifahan al-Makmun, sang penguasa pada saat itumemaksakan doktrin al-Qur'an adalah makhluk. Inilah salah satu output kebebasan berfikir dalam filsafat[3]. Pada saat ini–sebagai contoh lain- mata kuliah filsafat sudah menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi Islam di tanah air[4]. Maka tidak heran jika kita melihat suatu figur yang dianggap ulama, berani mengatakan bahwa yang halal itu haram dan yang haram itu halal.

Secara tidak sengaja penulis melakukan sebuah diskusi atau tukar pikiran antara mahasiswa yang belajar tauhid dan mahasiswa yang mempelajari filsafat. Untuk selanjutnya penulis menyebut A untuk mahasiswa yang belajar tauhid dan B untuk mahasiswa yang belajar filsafat. Diskusi ini dimulai dari pertanyaan B kepada A, yaitu "Perlukah kita untuk belajar filsafat?" Berbekal tauhid yang dipelajarinya ia pun menjawab secara spontan, "Tidakperlu". A mengemukakan argumennya bahwa al-Qur'an tidak mengisyaratkan untuk mempelajarinya. B pun berkilah dengan sejumlah argumen yang dimilikinya.Yang menarik bagi penulis untuk mengangkat diskusi mereka berdua dan menjadikannya judul tulisan ini adalah pertanyaan B kepada A –sebagai penguat argumennya bahwa al-Qur'an mengisyaratkan untuk berfilsafat- yaitu "Apakah Nabi Ibrahim berfilsafat?". Jika A menjawab "Ya" maka runtuhlah argumen diabahwa al-Qur'an tidak mengisyaratkan untuk belajar filsafat. Jika A menjawab tidak, nyatanya al-Qur'an menceritakan kisah Ibrahim mencari tuhan.

Sebelum penulis lanjutkan jalannya diskusi mereka berdua,mari kita simak kisah Ibrahim udalam surat al-An'am ayat 76-78.

فَلَمَّاجَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَلَا أُحِبُّ الْآَفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّيفَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ(77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّاأَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

Artinya: "Ketika malam telah gelap gulita (Ibrahim) melihat bintang-bintang dan ia berkata ini tuhanku. (Akan tetapi) ketika mereka (bintang-bintang) menghilang ia berkata aku tidak senang (menyembah tuhan) yang menghilang. Ketika ia melihat bulan bersinar terang ia berkata ini tuhanku, namun ketika bulan menghilang ia berkata (seraya berdo'a) "Wahai Tuhanku jika Engkau tidak memberikan kupetunjuk niscaya aku termasuk golongan orang-orang yang sesat. Ketika ia melihat matahari bersinar terang ia katakan ini tuhanku namun ketika matahari menghilang (tegaklah hujjah bagi Ibrahim bahwa Allah adalah Tuhannya) sehingga berkata wahai kaumku sesungguhnya aku berlepas dari apa yang kalian sekutukan(terhadap Allah)."

Berdasarkan kisah Ibrahim inilah, B berhujjah bahwa Nabi Ibrahim berfilsafat[5]. Secara sepintas memang ada kemiripan antara pencarian Nabi Ibrahim dan pencarian dalam dalam filsafat. Namun si A melihat ada ketidakberesan pada kesimpulan yang diambil si B dari kisah itu. Sebagai jawaban, si A berkata: "Coba anda simak kisah tersebut dari ayat75 perhatikan kalimat "Dan begitu pula Kami perlihatkan kepada Ibrahim" (وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ). Pada ayat tersebut Allah mengabarkan bahwa Allah-lah yang memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada Nabi Ibrahim. Di antaranya adalah bintang-bintang, bulan dan matahari sebagaimana disebutkan pada 3 ayat setelahnya. Dengan demikian tidaklah benar jika dikatakan Nabi Ibrahim berfilsafat, karena proses melihatnya Nabi Ibrahim tersebut adalah bagian dari wahyu ilahi yang mana tidak bisa dicapai dengan usaha seseorang. Pada akhirnya si B mengakui kekeliruannya dalam menarik kesimpulan dan berterima kasih kepada si A, seandainya Allah tidak mempertemukannya dalam diskusi ini mungkin dia akan terjerumus lebih dalam lagi.

Setelah melihat diskusi di atas penulis ingin menambahkan sanggahan terhadap si B untuk lebih memperjelas perbedaan filsafa tdan kisah Nabi Ibrahim di atas.

Yang pertama, Nabi Ibrahim memanjatkan doa kepada Allah[6] memohon petunjuk kepada kebenaran. Tentunya hal ini tidak kita jumpai dalam filsafat. Penulis belum menemukan seorang filsuf pun yang berdoa seperti Nabi Ibrahim. Yang ada malah kesimpulan akhir mereka adalah Tuhan itu tidak ada. Adapun filsuf muslim penulis berlindung kepada Allah dari perkataan dan prasangka buruk kepada mereka bahwa mereka tidak memanjatkan doa kepada Allah. Hanya saja penulis melihat sejumlah kejanggalan dalam konsep mereka tentang Tuhan. Di antaranya adalah kesimpulan Al Farabi bahwa tuhan adalah sebab pertama dari segala yang ada. Kesimpulan tersebut sangat bertentangan dengan Tauhid Rububiyah.

Kedua, si B terlalu terburu dalam mengambil kesimpulan –mengambil sebagian ayat dan meninggalkan ayat lainnya- sehingga ia melupakan ucapan terakhir Nabi Ibrahim pada ayat 79 yaitu keyakinan beliau bahwa Allah-lah satu-satunya Yang ia sembah Yang menciptakan langit dan bumi dan bahwasanya ia bukan termasuk orang-orang musyrik. Konsep inilah –tauhid uluhiyah- yang tidak ditemukan dalam konsep-konsep para filsuf muslim tentang tuhan[7]. Hal ini jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak berfilsafat.

Ketiga, 'Proses pencarian' Nabi Ibrahim bukanlah dikarenakan beliau tidak tahu siapa Tuhannya. Mungkinkah utusan Allah yang dikarakteristikkan dengan al-hanif (yang lurus akidahnya)[8] serta ditugaskan untuk mengajarkan tauhid pada umatnya, tidak mengenal siapa tuhannya?

Yang benar, Nabi Ibrahim melakukan itu semua dalam rangka mengajarkan pada umatnya bahwa bintang, bulan dan matahari bukanlah sosok yang berhak disembah. Karenaseluruh makhluk itu memiliki saat-saat untuk menghilang. Pantaskah dzat yang demikian keadaannya untuk dijadikan sesembahan?

Perlu diingat bahwa kaum Nabi Ibrahim saat itu terjerumus kesyirikan dalam tauhid uluhiyah. Maka untuk menyadarkan mereka,Nabi Ibrahim mengajak mereka untuk berfikir menggunakan metode di atas. Wallahua'lam.[9]

Sebagai penutup penulis ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim di atas. Di antaranya berkenaan dengan si B sebagai mahasiswa yang belajar filsafat. Tidak seyogyanya kita serta merta menghukuminya sebagai ahli bid'ah. Sebab kekeliruan yang dilakukan si B nampaknya adalah dalam rangka mencari kebenaran. Buktikanya pada akhir diskusi ia menerima kebenaran dari Al Qur'an dan meninggalkan pendapat pertamanya, yang boleh jadi ia dapatkan dari dosen filsafatnya di kampus.Sebagai seorang thalibul-ilmi yang nantinya akan menjadi seorang dai, hendaknya kita jeli memperhatikan penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Seharusnya kita memperhatikan bentuk penyimpangan mereka, tingkatannya, kedudukannya dalam agama atau perkara duniawi, serta sebab-sebab yang menjadikan mereka melakukannya. Baik itu karena faktor ketidaktahuan, pengaruh guru-guru mereka dan sebab lainnya[10]. Sehingga kita dapat menentukan sikap yang tepat dalam mengingkari penyimpangan tersebut dan meluruskunnya.

Kemudian suatu hal yang wajib kita syukuriadalah nikmat aqidah murni yang kita dapatkan di kota Nabi Sosok mahasiswa B bukanlah satu-satunya dinegeri kita yang menjadi korban revolusi kurikulumnya Harun Nasution[11]. Banyak saudara-saudara kita sebagai alumni SMU atau MA yang semula berniat ikhlas ingin menuntut ilmu agama di berbagai perguruan tinggi Islam untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, namun pelajaran agama yang di dapat adalah pelajaran agama yang didasarkan pada doktrin kebebasan berfikir. Sebagai wujud rasa syukur kita, kita wajib mengajak mereka untuk merasakan manisnya aqidah Ahlus Sunahwal Jama'ah seperti yang telah kita rasakan saat ini. Tentunya hal ini bukan suatu hal yang gampang. Kesabaran selalu dituntut dalam diri seorang dai[12]. Bukan suatu keharusan kita melihat hasil dakwah pada saat berdakwah berdakwah.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis secara pribadi dan juga bagi pembaca yang dirahmati Allah. Semoga Allah melindungi kita semua (umat Islam) dari ilmu-ilmu yang tidak bermafaat. Washallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad.






[1]Deskrates
[2]Yang dimaksud adalah akal. Inilah letak pertentangn 'filsafat Islam' dan konseptauhid dalam aqidah Ahlus Sunnah
[3]Pengaruh filsafat pada era al-Makmun tidak lepas dari banyaknya karya-karya filsuf Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
[4]Harian Republika edisi dialog Jum'at 19 september 2003 memberitakan bahwa sejaktahun 1973, Prof. DR. Harun Nasution mengubah kurikulum IAIN seluruh Indonesia.Beliau menilai bahwa kurikulum yang berorientasi pada fikih membuat mahasisiwamenjadi jumud (statis).
[5]Lihat kembali definisi filsafat.
[6] Al-An'am ayat 77
[7] Lihat konsep Al Kindi, Al Firabi, Al Biruni dansederet nama-nama filsuf muslim lainnya.
[8] Sebagaimana antara lain dalam QS. An-Nahl: 120dan An-Nahl: 123.
[9] Lihat: Ar-Radd 'ala al-Mantiqiyyinkarya Ibnu Taimiyah (hal 305-306) dan Manhaj as-Salaf wa al-Mutakillimin fiMuwafaqati al-'Aql li an-Naql karya Jabir Idris Ali (11/559-560).
[10] Lihat: kitab Nasihah karya Dr. Ibrahimbin Amir Ar Ruhaili hal 31
[11] Lihat: catatan kaki no. 4
[12] Ushul Tsalasah hal 1
Diambil dari Buletin Bashirah Edisi 35

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Ceyron Louis

Masih sebagai manusia yang tersesat di tengah, antara salah paham yang tak berujung

0 comments:

Post a Comment