Keambiguan istilah Ulama Intelek

Sedikit frontal, mumpung masih kepala dua. Obrolan warung kopi memang terkesan berbicara asal-asalan dengan data ala kadarnya, intinya serba subjektif, sangat jauh dari obrolan ilmiyah. Dimulai dari intinya dulu, "mencetak ulama yang paham(sangat menguasahi) ilmu umum, dalam artian dokter sekaligus mufti atau sebaliknya adalah hal yang terlalu idealis, dengan kata lain, muluk-muluk".

Bukankah ada semboyan "Jangan jadi manusia yang setengah-setengah!". Jika belajar saja tidak mengenal batas, lalu mengapa mengharuskan seseorang mempelajari 2 hal yang berbeda sampai batas disebut penguasa(orang yang menguasai), kapan menguasainya? Belum menguasai yang satu sudah dituntut untuk menguasai yang lainnya. Pertanyaannya sekarang, Apakah ciri-ciri/alamat/ketentuan/maksud dari sebutan "ulama intelek"?

Zaman keemasan Islam, adakah tokoh yang benar-benar seimbang(jika seimbang adalah maksud dari ulama intelek) dalam penguasaan ilmu umun dan agama? Tentu tidak, karena kalaupun ada, pasti akan tetap condong pada salah satunya.

Lalu pada zaman madrasatul ahlul hadits maupun madrosatu ahlu ro'yi, mereka yang tidak menekuni majlis-majlis dalam madrasah tersebut mempunyai satu hal yang jarang dipunyai manusia zaman ini, "pengakuan serta kesadaran akan kebutuhan ilmu dari majlis tersebut". Jadi, daripada membuat manusia yang serba setengah lebih baik membuat manusia yang utuh, namun sadar akan kedudukannya (sebagai orang umum) dan kebutuhannya dalam beragama. (Mohammad Ridho)

Bukankah semua sudah ada bagiannya, ketika ada yang berjihad harus ada yang tinggal untuk mengajar, lalu ketika ada yang mengajar harus ada yang bekerja.

*jika coretan diatas dikatakan sesat, semoga yang mengatakan sesat tersebut tidak lupa untuk mendoakan saya (agar segera diberi hidayah).

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Ceyron Louis

Masih sebagai manusia yang tersesat di tengah, antara salah paham yang tak berujung

0 comments:

Post a Comment