Suami vs Bujang

Analogi atau pengibaratan yang mungkin akan terlihat aneh, lalu jika diteruskan pengambilan sudut pandang aneh tadi, maka akan berujung pada penghakiman, "Halah..paling cuma alesan".

Jika pernikahan adalah salah satu tujuan dalam perjalanan hidup, maka setidaknya setiap pribadi memiliki beberapa tempat lain yang ingin(menjadi kebutuhan) dituju sebelum bertolak ke tempat yang dinamakan pernikahan. Bukankah setiap pribadi memiliki kebutuhan yang berbeda, lalu mengapa dengan menikah semua jadi sama, wajib grusa-grusu(cepat-cepat) yang penting -cepat- menikah(hasil) bagaimanapun prosesnya.


Terlihat dari teman-teman yang telah menikah, ada saja diantara mereka yang ibarat mobil, rela mereparasi mobil kita agar melaju lebih cepat menuju tujuan selanjutnya yaitu pernikahan, padahal mereka tidak mengetahui bahwa masih ada tujuan lain yang lebih penting dari pada menikah(bagi pribadi yang dikatakan lambat). Dan mereka tentu lupa bahwa setiap pribadi memiliki kendaraan yang berbeda dan kita masih nyaman serta mensyukuri mobil yang dikatakan serba lambat oleh mereka. Tentu dikatakan lambat karena tidak cepat menikah.


Jika tadi masalah lambat menikah, maka yang ini adalah masalah lambat memiliki keinginan, keberanian serta lambat dalam menyatakan "Saya mau menikah". Ada saja cara mereka dalam mereparasi mobil kita yang dikatakan lambat ini, salah satunya dengan perkataan berikut, "Cemen...  umur segini.. masih belum berani izin(menyatakan) ke orang tua ingin menikah". Dan jika  perkataan ini dianggap belum cukup dalam mereparasi mobil yang lambat maka mereka akan menambahnya dengan, "Atau jangan-jangan tidak ada niatan menikah", tentunya dengan perbaikan yang diberikan diakhir ini semua pria akan terbakar dan memanas. Begitulah kira-kira analoginya, pemiliki mobil yang dikatakan lambat oleh tukang reparasi yang bekerja secara sukarela.


Sebaiknya, bagi mereka yang telah menikah di usia muda atau bisa dikatakan tepat waktu, jika ingin mengajarkannya kepada manusia lain maka ajarkan dengan baik dan benar, bukan asal agar panas dan bertindak. Segala sesuatu di dunia ini tentu memiliki pasangan, jika dalam pernikahan ada kebahagiaan tentu di dalamnya juga ada kesedihan. Kami yang dikatakan bujang lapuk tak berbahagia ini, tidak rela bertanya pada kalian tentang bagaimana pendertiaan dan kesediahan yang ada dalam pernikahan. Bukankah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi membutuhkan keahllian yang lebih dalam mengendalikannya?


Sebenarnya masih banyak lagi analogi-analogi pendukung, kalaupun mau memakai dalil juga banyak, tetapi saya cukupkan sampai di sini saja. Perbuatan membujang lapukkan(mengatakan sebagai ) seseorang bukanlah perbuatan terpuji dan tidak dapat dibenarkan secara syariat, meskipun hanya bercanda, padahal bisa saja yang sedang membujang lapukkan tadi sedang ditimpa musibah besar maupun kecil dalam rumah tangganya. Intinya, jika memang sesuatu dianggap tidak tepat sesuai syariat maka mencela atau sekedar mengatai bukanlah solusi.


Ah.. lagi-lagi saya terlalu serius dalam menanggapi permasalahan, tetapi bukankah mereka juga sama seriunya dalam menaggapi masa waktu menikah, terbukti dengan menjadikan ketidaksamaan dalam waktu menikah sebagai  ukuran kebahagian atau keresahan dalam hidup.




Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Ceyron Louis

Masih sebagai manusia yang tersesat di tengah, antara salah paham yang tak berujung

0 comments:

Post a Comment