Ke-salafi-an



وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(100)سورة التوبة


‘‘Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah meridhai mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan karenanya (ridho terhadap apa yang telah ditetapkan Allah) Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.’ (At-Taubah: 100)

Salaf, salafi dan manhaj salaf. Mungkin istilah-istilah tersebut sangat jarang sekali terdengar bagi muslim Indonesia berbeda dengan istilah ahlus sunnah wal jama’ah yang hampir semua orang tidak asing mendengarnya. Menurut Imam Syaukani kalimat “وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ” adalah orang-orang yang mengikuti generasi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar yaitu orang-orang yang datang belakangan, baik dari kalangan para sahabat (yakni yang datang setelah Fathu Makkah), maupun yang setelah mereka sampai hari kiamat.”

Muhajirin dan Anshor, mereka adalah sahabat Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam. Muhajirin adalah panggilan bagi mereka yang berhijrah dari Makkah menuju Madinah sedangkan Anshor mereka adalah kaum muslimin yang bermukim di Madinah.

Makna salaf secara bahasa yang dituliskan Ibnu Mandzur dalam bukunya adalah “yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Sedangkan menurut Fairuz Abadi dalam Bahrul muhithnya “orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang dan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu.”. Dari dua pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara bahasa salaf berarti orang-orang terdahulu.

Dalam bukunya Imam Syaukani berpendapat bahwa salaf secara istilah adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Pendapat tersebut bersandarkan pada sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi).

Setelah mengetahui pengertian salaf secara bahasa dan istilah dan menjadikan mereka (Salafus sholih) guru kita dalam memahami islam, maka seorang murid yang mengikuti ajaran Salafus sholih dalam aqidah, syari’ah, akhlak, dakwah, muamalah, dan seluruh aspek dalam islam disebut Salafi. Seorang muslim dikatakan salafi ketika dia mengikuti Salafus Shalih dalam segala aspek keislaman secara keseluruhan maupun sebagian, dan inilah yang membedakan kesalafian seseorang.

Seorang salafi yang mengikuti salaf membutuhkan sebuah sistem yang baku dan tidak berubah-ubah dalam belajarnya maka dari itu muncullah istilah Manhaj Salaf. Menurut seorang salaf Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma arti manhaj secara bahasa adalah jalan dan syari'at, sedangkan menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyyah.

Dizaman sekarang berbagai golongan muncul dengan membawa ideology masing-masing. Menurut Hilaly disinilah perlunya seorang muslim mengatakan Ana salafi. Berikut tulisan Hilaly dalam bukunya tentang keharusan mengatakan ana salafi : “Jika kamu berkata: ‘Saya seorang Muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah,’ perkataan itu tidaklah mencukupi. Sebab kelompok-kelompok seperti Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan Hizbiyyun juga mengaku, bahwa mereka mengikuti kedua pedoman tersebut. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, bahwa penyebutan yang jelas, terang, dan dapat membedakan, adalah dengan mengatakan, ‘Saya seorang Muslim yang berasaskan Al Qur’an dan As Sunnah yang berada di atas manhaj Salafus Shalih.’ Singkatnya, Anda berkata, “Saya adalah seorang Salafi.”

Dari sinilah mulai muncul beragam masalah. Ada sebagian orang yang mengklaim Salafi, tetapi tidak memahami istilah itu dan konsekuensinya, ada yang sangat membanggakan istilah Salafi, sehingga hari-harinya hanya disibukkan untuk menjelek-jelekkan orang lain, ada yang memaknai istilah Salafi secara sempit, dengan standar keikut-sertaan seseorang dalam suatu majlis taklim, ada yang berebut istilah Salafi, sehingga terlibat perselisihan tajam, bahkan tidak sedikit yang kemudian membenci ajaran Salafiyah, karena merasa tidak simpatik melihat perilaku buruk para pengaku Salafi.

Belum Lagi sebagian orang yang ingin memonopoli kebenaran. Mereka mengklaim sebagai “pewaris tunggal” kebesaran Salafus Shalih. Mereka memahami, Siapapun yang tidak berpaham seperti mereka, dianggap bukan Salafi, melainkan Khalafi. Klaim seperti itu semakin diperkuat dengan menjadikan hadits “73 golongan” sebagai hujjah. Mereka meyakini diri sebagai Salafi sejati, satu-satunya golongan yang dijamin selamat, satu-satunya kelompok yang mendapat pertolongan, dan pemangku predikat Al Jamaah. Sedangkan yang berada di luar mereka dianggap “kulluhum fin naar” (semuanya di neraka).

setelah kita mengetahui arti salaf, salafi, manhaj salaf dan keharusan mengatakan ana salafi serta permasalahan yang timbul setelahnya, kewajiban mengikuti salafus sholih tidaklah berubah menjadi sunnah, Tetapi tidaklah setiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan ataupun memasukkan seseorang kedalam salafiyyah. Karena salafiyyah bukanah perusahaan, yayasan sosial, ataupun partai politik apalagi ormas. Salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Tidak seorangpun dapat mengeluarkan seseorang dari dalam Islam, sebab seseorang tak akan keluar dari Islam kecuali dgn kekafiran ataupun mengingkari sesuatu perkara prinsip yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Seseorang tak akan keluar dari Islam kecuali dengan beberapa persyaratan yang telah disebutkan ulama. Adapun ungkapan yang diperbolehkan sebatas: ” si fulan telah menyelisihi manhaj salaf, si fulan telah meyelisihi aqidah, menyelisihi apa-apa yang diperbuat salaf” hal ini kita nyatakan jika dia keliru dalam pemahaman salaf atau menjauhi kebenaran salaf dalam sebagian masalah-masalah ataupun kaedah-kaedah tertentu. [Seri Soal Jawab Daurah Syar'iyah Dengan DR Muhammad Musa Alu Nashr murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc]

Pada dasarnya setiap muslim yang mengakui legalitas Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat, para Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in radhiyallahu ‘anhum, mereka telah memiliki kadar kesalafian dalam dirinya, namun kesalafian itu tidak sempurna hanya dengan sebuah pengakuan dibutuhkan juga realiatas pelaksanaan dalam menjalankan manhaj Salaf yang mencakup aqidah, akhlak, dakwah, Ibadah, muamalah, menuntut Ilmu, dan seluruh aspek dalam islam, disinilah muncul tingkatan-tingkatan kesalafian seorang muslim.

Setiap muslim yang menjalankan agama islam sedikit banyak bersandarkan pada pemahaman para salafush sholih. Kadar kemampuan setiap muslim yang berbeda, itulah penyebab banyak dan sedikitnya usaha dalam menjalankan agama. Disinilah perbedaan muncul, usaha setiap manusia untuk kaffah dalam mengikuti salafus sholih itu berbeda-beda, ada yang baru memulai, ada yang di pertengahan dan ada yang hampir sempurna. Walaupun jalan yang ditempuh sudah benar, bukan berarti si penempuh itu sempurna, karena Salafi adalah lawan dari ahlul bid’ah bukan lawan kata dari ahlu maksiat, tetapi jika kesempurnaan itu mustahil bukan berarti usaha menuju sempurna tidak dijalankan.

Maka penuntut ilmu dianjurkan untuk adil dalam bersikap terhadap sesama muslim, ketika dia mengklaim dirinya sebagai seorang salafi dan melihat orang lain yang berselisih denganya diharapkan tidak cepat munghukumi bahwa dia bukan seorang salafi karena, mungkin saja orang yang berselisih tersebut belum sampai kepadanya hujjah. Dan terakhir kesempurnaan hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala semata, dan hanyalah Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam seorang yang ma’sum, dengan demikian kita jangan mengganggap bahwa seseorang salafi itu dapat steril dari berbagai kekurangan dan aib, atau steril dari segala ketergelinciran dan kekeliruan.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Ceyron Louis

Masih sebagai manusia yang tersesat di tengah, antara salah paham yang tak berujung

0 comments:

Post a Comment